Sabtu, 26 April 2014

BEBAN HIDUP (PART I)

Suasana hati kali ini nga sangat kacau nga karuan, bisa dibilang extra galau dan extra stres. Yakh, ini terjadi beberapa waktu terakhir ini. Tanpa ada yang tau, dan tanpa ada yang merasakan. Hanya aku.....
Dengan segudang pergumulan yang terjadi dalam hidupku ini, ini merupakan suatu proses pembelajaran yang memprosesku untuk aku harus lebih lebih lagi kuat dan sabar dalam menggadapai segala apapun yang terjadi dalam hidupku ini. 
08 Agustus 2012, aku harus menerima kenyataan bahwa papa, orang yang sangat aku cintai tervonis kanker thymus stadium 4. Suatu penyakit yang ditakutkan oleh semua manusia itu "ada" dalam tubuh papaku. Papa yang saat itu tidak pernah tau bahwa, sakit yang dideritanya adalah kanker stadium 4, dimana aku memang memutuskan untuk merahasiakan penyakit ini didepan papa demi menjaga hatinya supaya tidak down. Pernah tau rasanya??? SAKIT !! DAN TERSIKSA... Aku harus berbohong atas ini semua pada seseorang yang aku cintai. Demi kebaikanya... Aku harus selalu menjaga kesedihanku terhadapnya ketika didepanya, yah aku harus selalu tampak bahagia ketika didepan papa dan mama serta adik2ku... Aku lakukan smua yang terbaik untuk papa, segala pengobatan terbaik, pikiran, waktu, dan tenaga aku berikan semua demi kesembuhan papa. Setelah papa tervonis hingga papa meninggalkan kami untuk selama-lamanya (17 February 2013), setiap minggunya aku menemani papaku untuk menjalani kemoteraphydi singapore. Nggak Capek?? Bohong kalau saya jawab nga capek, jujur sejujurnya, saya sangat capek, capek fisik, capek pikiran, dan capek hati ini.... Tapi aku harus tetap tegar demi papa dan semua keluargaku. Jujur saat itu itu kekecewaan ada dalam diriku, ketika adiku Robby (yang waktu itumasih berumur 19 tahun) lebih tetap melanjutkan sekolah di beijing, daripada menemani papa. Semantara aku rela lebih memprioritaskan papa daripada pekerjaanku, tidakkah ia tau, betapa sakitnya ketika aku harus dimaki customer karena aku tidak ada untuk mereka, dsbnya. Hal tersakit adalah ketika aku harus menceritakan pada adiku soal keadaan dan kondisi papa tapi mereka bilang aku "berlebihan", sangat amat menyakitkan. Dan ini sangat sering aku dengar darinya, hingga saat ini. Tidakkah dia tau, bahwa tidak mudah bagiku menerima kenyataan bahwa orang-orang yang aku sayangi menderita sakit? Dan tidakkah ia tau, apa gunanya aku berlebihan? Aku takut, aku cemas, dan aku takut kehilangan orang-orang yang kukasihi, apakah ini berlebihan? Jika iya, maafkana aku dengan caraku yang mungkin berlebihan. Banyak biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan papa, sangat amat banyak, bisa dibayangkan, sekali kemo tidak lagi bunyi "juta saja" tapi "puluhan juta" per sekali kemo, belum termasuk biaya dokter, tinggal, tiket pesawat, maintance, dll. Yang itu sama sekali tidak ditanggung oleh asuransi kami. Tapi, Puji Tuhan dengan kebaikan yang luar biasa dari keluarga papa mereka memberikan banyak bantuan berupa materiil (big thanks to : Cek Kien, Cek Tung, Cek Ding, Miko, Mpek Kie, Kogang, Ko cilik, dan semua pihak dari keluarga besar papa). Sungguh support yang luar biasa yang kalian berikan untuk papa, dan saya tahu sejak papa tidak ada, saya merasakan ada suatu hal yang saya rasa tidak layak untuk saya terima (maaf jika ini hanya perasaan saya, tapi saya sungguh merasakanya) memang bukan dari semua pihak, tapi ada dari beberapa pihak. Saya tau kenapa hingga rasa aneh itu timbul... 
Karena operasi terkahir papa yang harus memasang selang infus hingga menghabiskan biaya +- Rp. 150.000.000, dan saya mencoba singgah ke dokter Ang Peng Tiam (Dokter termahal seSingapore yang dipercaya oleh sejuta umat meletakan segala kepercayaanya demi kesembuhanya pada beliau, *selain daripada TUHAN). Well, begini alasanya... Papa semula dihandle oleh Dr. Hwang Hwee Yong, dokter pilihan dari ncek Ding yang saya yakin juga pasti bagus dan TOP, dan saya tahu bahwa saudara-saudara papa juga mengingkan kesembuhan papa dan pasti berusaha yang terbaik untuk kesembuhan papa. Setelah menjalani kemo ke 16 dimana saya melihat dan merasakan tidak ada kemajuan yang baik dari papa, dan saya lihat dr. Hwang Hwee Yong mulai tidak lagi "enak" untuk diajak bicara dan diskusi, maka saya menceritakan yang saya rasakan pada Encek Ding. Dengan saran darinya untuk mencoba alih ke dokter lain, maka saya pun mencoba alih ke dokter lain (Dr. Ang Peng Tiam), sungguh bukan saya "memanfaatkan" kesempatan dalam kesempitan, tapi saya terbatas. Saya bisa saja mencari dokter kanker baik yang murah disana, tapi saya terbatas pada bahasa, dan kondisi papa saat itu berkejaran dengan waktu (maut). Hingga akhirnya ketika saya ke Dr. Ang, saya merasakan betul adanya perubahan-perubahan dari beberapa keluarga. Demi Tuhan saya tidak pernah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Aku, sebagai anak hanya berusaha dan berjuang yang terbaik demi papaku. Dan saya yakin, bahwa mereka pun akan melakukan hal yang sama ketika itu di posisi saya. Penyakit yang papa derita berkejaran dengan waktu dan maut. Saya, seorang diri disana dengans segala keterbatasan saya, saya hanya berusaha berjuang untuk memperjuangkan hidup papa saya, apa saya salahhh?????? Dan, untuk itu saya mengalah, saya kembali melanjutkan dan mempercayakan papa di sisa hidupnya pada Dr. Hwang Hwee Yong. Sekali lagi, saya tahu ini bukan salah dari keluarga papa, tapi ini keputusan bersama, yang saya tahu ini adalah saya sebagai pemegang keputusan waktu itu. Keputusan terakhir waktu itu dari Dr. Hwang Hwee Yong dimana papa harus dikemoterapi 3 hari berturut-turut. Saya pun OKE kan, dengan harapan ada secercah harapan baik bagi papa... Kemo itu pun selesai, dan kita kembali ke indonesia. Tepat 1 hari sebelum malam imlek. Dan esoknya, papa untuk terakhir kalinya datang merayakan imlek dengan badan yang sudah tidak kuat (lemes), malamny harus opname di Mitra Keluarga Satelit Surabaya, dan seminggu setelah itu papa menghembuskan nafas terakhinya. Sejak itu hingga sekarang aku merasakan ada hal yang seharusnya tidak layak aku terima, tapi aku ikhlas... Aku ikhlas apapun yang mereka rasakan soal aku. Tapi sungguh, demi tuhan aku tidak memanfaatkan suatu hal apapun, saya hanya berusaha berjuang untuk papaku supaya tetap bertahan dan jika boleh jujur saya menggunakan dana saya pribadi setiap minggunya untuk menggajak orang ketiga (yang tidak pernah saya masukan dalam list pengeluaran) dan baik itu keperluan pribadi saya dan orang ketiga tersebut murni saya tanggung pribadi, maaf jika saya katakan ini, sekali lagi maaf, tapi ini sungguh salah satu bukti bahwa saya bukan memanfaatkan kesempatan, dan kenapa saya ajak orang ketiga tujuanya untuk menguatkan saya ketika saya sudah tak sanggup lagi mendengar perkataan dokter soal kondisi papa. Yah, memang salahku, aku terlalu rapuh. Tapi aku manusia biasa. Pantaskah papaku untuk dibuat modal sebagai mencari kesempatan?? DEMI TUHAN, DAN SUNGGUH TERKUTUK AKU JIKA AKU MELAKUKANYA... 
Aku sendiri, aku memprioritaskan papa lebih dari hidupku dan kebutuhanku, aku memperjuangkan papa SENDIRI dan dengan sungguh aku perjuangkan, tapi ternyata Tuhan jauh lebih sayang papa daripada aku... Dengan berat, aku relakan papa, pergi dari hidupku untuk selama-lamanya, tapi papa tidak akan pernah pergi dari hatiku.....
Selamat jalan papa, 
Meski sudah setahun papa telah pergi,
Tapi papa selalu ada didalam hatiku, 
Papa, yang selalu menelponku ketika aku tidak ada dirumah...
Papa, yang selalu memasakan makanan-makanan kesukaanku ketika aku dirumah...
Papa, yang selalu mau tahu kesusahanku...
Papa, yang selalu membawakanku tulang-tulang ayam sisa kesukaanku.... 
Dan banyak hal yang kurindukan darimu pa.....
I LOVE U PAPA 
I MISS U PAPA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar